Skip to main content

Novel kisah ken arok dan ken dedes (1)

PdLS-01

 
 
 
 
 
 
33 Votes

Bagian I – Bunga di Kaki Gunung Kawi
HAMPIR BERSAMAAN KEDUANYA mengangkat wajahnya, memandang ke dataran langit yang biru bersih. Warna-warna semburat merah yang dilontarkan oleh matahari yang kelelahan di punggung-punggung bukit di sebelah barat masih tampak menyangkut di ujung pepohonan.
“Langit bersih,” desis salah seorang di antaranya. Seorang tua dengan rambut yang telah memutih.
“Ya,” sahut orang kedua. Seorang pemuda yang berwajah jantan, namun penuh kelembutan. Matanya yang bening memancarkan cahaya keteguhan hatinya, yang memandang hari depan dengan penuh pengharapan, namun penuh pergulatan dan perjuangan yang dilandasi dengan pasrah diri tulus ikhlas kepada takdir Yang Maha Agung.
Keduanya diam sejenak. Tetapi kaki mereka masih terayun dalam langkah yang berirama. Lambat-lambat mereka maju terus menyusur dataran sebelah timur Gunung Kawi, menuju ke rumah mereka di Desa Panawijen.
“Mahisa Agni,” kembali orang tua berambut putih itu berbicara.
“Ya, Bapa Pendeta,” sahut pemuda yang bernama Mahisa Agni itu.
“Kita akan kemalaman di perjalanan,” sambung pendeta tua itu.
“Tak apalah. Kalau kita berjalan terus, sebelum tengah malam kita akan sampai,” sahut Mahisa Agni.
“Kau tidak lelah?” bertanya pendeta itu kembali.
Mahisa Agni menarik nafas. Bertahun-tahun ia berguru kepada pendeta itu. Dan bertahun-tahun ia mendapat gemblengan lahir dan batin. Namun setelah bertahun-tahun itu, masih saja ia dianggapnya anak-anak yang selalu mendapat perhatian yang berlebih-lebihan.
Meskipun demikian, Mahisa Agni dapat mengerti sepenuhnya. pendeta tua yang bernama Empu Purwa itu tak beranak laki-laki. Ia hanya beranak seorang perempuan. Dinamainya anak itu Ken Dedes yang didapatnya sebelum ia mengenakan pakaian pendeta. Bahkan, dirasanya bahwa sikap gurunya jauh melampaui sikap seorang guru biasa. Diperlakukannya Mahisa Agni seperti anak sendiri. Kadang-kadang, Mahisa Agni menangkap juga hasrat yang tersirat dari sikap gurunya. Ken Dedes telah menjelang dewasa. Dan gadis itu cantiknya bukan main. Seolah-olah bunga melati yang putih berkembang di antara semak-semak yang lebat dan besar di lereng Gunung Kawi. Bahkan, diam-diam ia bersyukur pula atas kesempatan yang pernah ditemuinya itu. Berdiam dalam satu rumah dengan seorang gadis yang tiada taranya. Kecantikannya dan kejernihan hatinya.
Tetapi angan-angannya segera terpecah ketika didengarnya Empu Purwa berkata mengulangi, “Kau tidak lelah Agni?”
“Tidak, Bapa,” cepat-cepat Mahisa Agni menjawab.
“Bagus,” sahut Empu Purwa, “kakimu telah cukup terlatih. Bagaimana dengan pernafasanmu?”
“Baik, Bapa,” jawab Mahisa Agni.
Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah senyumnya menghiasi bibirnya yang tebal. Tetapi senyum itu tiba-tiba lenyap seperti asap ditiup angin.
Dengan penuh minat Mahisa Agni memandang wajah gurunya. Mula-mula ia menjadi ragu. Apakah sebabnya? Tetapi ketika ia memandang ke depan, dilihatnya padang rumput Karautan. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Agaknya padang rumput yang di sana-sini diselingi oleh gerumbul-gerumbul itulah yang telah mempengaruhi pikiran gurunya.
Meskipun tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulut anak muda itu, namun pandangan matanya memancarkan beberapa pertanyaan tentang padang rumput yang terkenal itu kepada gurunya. Agaknya gurunya pun tanggap pada pertanyaan muridnya, sehingga dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata, “Itulah padang rumput Karautan. Padang rumput yang terkenal sepi. Dijauhi oleh setiap orang yang menempuh perjalanan. Mereka lebih suka melingkar agak jauh. Lewat Pedukuhan Talrampak atau Desa Kaligeneng.”
Mahisa Agni memandang tanah yang terbentang di hadapannya dengan tajam. Sebentar kemudian ia memandang matahari. Namun matahari yang dicarinya telah tenggelam di balik gunung. Dan malam yang hitam pun perlahan-lahan telah turun menyelimuti Gunung Kawi.
“Apakah hantu itu benar-benar ada?” bertanya Mahisa Agni. Namun sama sekali ketakutan tidak mempengaruhi hatinya. Ia hanya ingin meyakinkan pendengarannya atas hantu Padang Karautan.
“Kau percaya kepada hantu?” terdengar Empu Purwa bertanya pula.
“Entahlah,” Mahisa Agni tersenyum. Dan gurunya tersenyum pula.
“Aku terlalu sering mendengar cerita tentang hantu di padang rumput Karautan,” berkata Mahisa Agni.
“Apakah kau bermaksud supaya kita mengambil jalan melingkar?” bertanya gurunya.
“Tidak Guru,” cepat-cepat Mahisa Agni menyahut menyambut. Ia memang tidak takut. Bahkan ia ingin melihat hantu itu. Karena itu ia meneruskan, “Aku ingin membuktikannya.”
“Apa yang pernah kau dengar tentang hantu itu?” bertanya gurunya pula.
“Hantu itu suka mengganggu. Bahkan memiliki sifat-sifat kejam dan bengis. Beberapa orang pernah menjadi korban,” jawab Mahisa Agni.
“Banyak orang yang mati oleh hantu itu. Begitu saja?” sela Empu Purwa.
“Tidak. Kadang-kadang orang yang berani lewat dalam rombongan-rombongan besar menemukan korban-korban itu dalam keadaan telanjang. Darahnya kering dihisap oleh hantu itu,” sahut Mahisa Agni.
“Cerita itu memang mengerikan. Dan apa yang sering terjadi di padang rumput itu pun memang benar-benar mengerikan. Namun tidak seperti yang kau dengar,” potong gurunya.
“Apakah yang pernah Bapa Guru ketahui tentang hantu itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Marilah kita lihat,” jawab Empu Purwa, “yang aku dengar pun terlalu mengerikan.”
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Meskipun ia tidak takut, namun perasaan yang aneh menjalari hatinya. Tetapi, ketika ia melihat gurunya berjalan dengan tetap dan tenang, langkahnya pun menjadi tenang pula.
Ketika bintang gubuk penceng menjadi semakin jelas di ujung langit sebelah selatan, sampailah mereka di padang rumput yang mengerikan itu. Ketika Mahisa Agni menginjakkan kakinya di atas batu-batu padas dan kemudian menjejakkannya pada rumput-rumput alang-alang, kembali hatinya berdebar-debar. Ditatapnya dalam kekelaman malam, gerumbul-gerumbul berserakan. Seonggok demi seonggok, seperti batu-batu besar yang berserak-serak di dalam telaga yang luas.
Tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulut kedua orang itu. Dengan penuh kewaspadaan Mahisa Agni berjalan di samping gurunya, sedang gurunya tetap berjalan dengan tenang. Seakan-akan mereka sedang menikmati sinar bulan yang cemerlang.
Ketika seekor kelinci meloncat dari semak-semak di depan mereka, Mahisa Agni terkejut. Kemudian ia tersenyum sendiri. Dirabanya dadanya yang berdebar-debar.
“Apakah aku sudah menjadi seorang penakut?” pikirnya.
Tanpa sengaja diingatnya cerita Ken Dedes yang didengarnya dari kawan-kawannya. Hantu itu mirip seperti manusia. Gagah tegap. Wajahnya sama sekali tak menakutkan. Bahkan seseorang pernah melihatnya di bawah sinar obor yang dibawanya. Wajah itu tampan meskipun kotor. Tetapi sifat-sifatnyalah yang mengerikan. Hantu itu tidak biasa membiarkan korbannya hidup. Meskipun kadang-kadang ada juga yang tak dibunuhnya. Dan yang tinggal hidup itulah yang menyebarkan cerita tentang hantu di padang rumput Karautan. Tak seorang pun yang dapat mengalahkannya, apalagi menangkapnya. Jagabaya-jagabaya dari pedukuhan di sekitar padang rumput itu pun telah mencobanya. Bahkan bersama-sama dalam rombongan yang besar. Namun hantu itu pandai menghilang dengan meninggalkan lima atau enam orang korban.
Mahisa Agni terkejut ketika tiba-tiba gurunya berhenti. Ia pun segera berhenti pula. Diikutinya arah pandang mata pendeta tua itu. Dan kemudian perlahan-lahan terdengar Empu Purwa berkata dengan ramahnya, “Nah Ki Sanak. Aku sudah mengira kalau kau menunggu kedatanganku.”
Mahisa Agni masih belum melihat seorang pun. Namun telinganya yang tajam kemudian mendengar pula gemerisik daun-daun di dalam semak-semak di samping mereka. Dan kemudian terdengarlah dengus kasar dan sebuah bayangan meloncat dengan cepatnya, seperti petir yang berlari di langit. Sesaat kemudian bayangan itu telah berdiri di hadapan mereka.
Dada Mahisa Agni bergetar cepat sekali. Hantu itu bukan sekedar cerita untuk menakut-nakuti gadis seperti Ken Dedes saja namun kini benar-benar telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar kembali. Apalagi kemudian ketika didengarnya hantu itu tertawa. Nadanya tinggi seperti memanjat tebing Gunung Kawi menggapai langit. Karena itu maka terasa telinganya menjadi sakit.
Ketika suara itu kemudian lenyap, terdengarlah hantu itu berkata, “Kau sudah tahu kalau aku akan menghadangmu?”
“Hantu itu dapat berbicara seperti manusia,” pikir Mahisa Agni.
“Ya, Ki Sanak,” terdengar gurunya menjawab.
“Dan kau sengaja menemui aku?” bertanya hantu itu pula.
“Ya,” jawab gurunya pula.
“Kau terlalu sombong,” kembali bantu itu tertawa menyakitkan telinga. Kemudian katanya pula, “Ada keperluanmu menemui aku?”
“Bisa juga ia diajak berbicara,” pikir Mahisa Agni.
“Ada,” sahut Empu Purwa, “sekadar singgah di padang rumputmu ini. Aku sedang menempuh perjalanan pulang dari Tumapel.”
“Katakan keperluanmu!” potong hantu itu.
“Jangan tergesa-gesa,” berkata Empu Purwa dengan tenangnya. “Apakah waktumu terlalu sempit?”
“Aku tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” jawabnya.
Mahisa Agni berpikir pula, “Kalau begitu benar kata orang, hantu tidak mau mendengar suara ayam berkokok.”
Tetapi gurunya menjawab dengan kata yang mengejutkan hatinya. “Jangan menakut-nakuti aku Ki Sanak. Aku lebih takut kepada orang daripada kepada hantu.”
Hantu itu menggeram. Kemudian membentak, “Jawab! Apa keperluanmu!”
“Ada beberapa pertanyaan untukmu Ki Sanak,” sahut Empu Purwa. Suaranya tetap renyah dan ramah.
Dalam kesempatan itu Mahisa Agni dapat memandang wajah hantu itu dengan seksama. Benar mirip seperti manusia. Bahkan ia tidak melihat perbedaannya sama sekali selain rambutnya yang panjang terurai dengan liarnya berjuntai di atas pundaknya yang bidang. Dalam keremangan malam, tak dilihatnya apa-apa yang mengerikan pada tubuh hantu itu. Bahkan ia sependapat dengan kabar yang pernah didengarnya, hantu itu berwajah tampan.
“Tak ada waktu. Aku akan membunuh kalian dan minum darah kalian,” teriak hantu itu.
Bulu kuduk Mahisa Agni serentak berdiri. Ngeri juga ia mendengar kata-kata itu. Meskipun ia tidak takut mati namun mati dibunuh hantu sama sekali belum pernah terlintas di dalam benaknya. Apalagi kemudian darahnya akan diminumnya pula.
“Darahku tidak sesegar air degan Ki Sanak,” jawab Empu Agni dengan tenang. “Apakah kau selalu haus?”
“Jangan berbicara lagi! Berjongkok dan aku isap tengkukmu sampai kau mati,” hantu itu berteriak semakin keras.
Adalah di luar dugaan Mahisa Agni kalau tiba-tiba Empu Purwa menjawab, “Kalau demikian kehendakmu, apa boleh buat.”
Kemudian kepada Mahisa Agni gurunya itu berkata, “Agni, adalah sudah menjadi kebiasaan hantu-hantu pengisap darah, mengisap korbannya lewat luka di tengkuknya yang ditimbulkan oleh gigi-gigi hantu itu. Kalau hantu ini akan menggigit tengkukku dan kemudian mengisap darahku, aku tak akan melawannya. Karena itu lihatlah dengan seksama, bagaimana caranya melubangi tengkukku.”
Empu Purwa tidak menunggu jawaban. Segera ia berlutut di hadapan hantu itu sambil menundukkan kepalanya.
Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Apa yang dilakukan gurunya itu sama sekali tidak masuk di akalnya. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang menjadi bingung. Hantu itu pun tiba-tiba menjadi bingung pula. Ketika ia melihat orang tua itu berlutut di mukanya maka segera ia bergeser surut.
“Apa yang akan kau lakukan?” bentaknya.
“Memenuhi perintahmu. Berjongkok dan kau akan mengisap darahku,” jawab Empu Purwa.
Kembali hantu itu menjadi bingung. Matanya tiba-tiba bertambah liar. Kemudian katanya berteriak, “Bagus. Kau juga anak muda. Berjongkoklah dan tundukkan kepalamu.”
“Biarlah ia hidup,” potong Empu Purwa. “Biarlah ia menjadi saksi bahwa hantu di padang rumput Karautan telah melubangi tengkukku dengan giginya, kemudian minum darahku dari lubang itu pula.”
Terdengarlah gigi hantu itu gemeretak. Ia telah benar-benar menjadi marah. Kemudian katanya, “Tidak peduli apa yang kau ketahui tentang diriku. Sebab sesaat lagi kau berdua akan mati di padang rumput ini.”
Bersamaan dengan kata-katanya itu, tiba-tiba Mahisa Agni melihat benda yang berkilat-kilat di tangan hantu itu, yang ditariknya dari pinggangnya.
“Pisau?” desis hatinya, “Adakah hantu memerlukan sebuah pisau untuk membunuh seseorang? Bukankah guru berkata kalau hantu melubangi tengkuk korbannya dengan giginya?”
Otak Mahisa Agni adalah otak yang cerah. Karena itu segera ia tanggap atas sasmita gurunya. Demikian ia melihat hantu itu mengayunkan pisaunya, segera ia meloncat menyerang secepat tatit.
Hantu itu terkejut melihat serangan Mahisa Agni yang demikian cepat dan dahsyat. Karena itu ia tidak sempat menancapkan pisau itu di tengkuk orang tua yang berjongkok di hadapannya. Beberapa langkah ia meloncat mundur. Dengan merendahkan diri, hantu itu berhasil membebaskan diri dari serangan Mahisa Agni. Bahkan segera hantu itu pun telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Mahisa Agni tidak mau membuang waktu lagi. Demikian serangannya yang pertama gagal, segera ia mempersiapkan diri untuk mengulangi serangannya pula. Namun, sebelum ia meloncat maju, hantu itu telah menyerangnya pula. Serangannya cepat dan berbahaya. Bahkan terasa betapa kuat tenaganya. Satu kakinya terjulur ke depan sedangkan kedua tangannya seperti akan menerkamnya.
Untunglah bahwa Mahisa Agni itu murid Empu Purwa. Apa yang telah dipelajari dan didalaminya sampai kini, benar-benar merupakan bekal yang cukup baginya. Karena itu, ketika serangan hantu itu tiba, Mahisa Agni segera menghindar dengan cepatnya. Menarik satu kakinya ke belakang dan mencondongkan tubuhnya. Hantu itu seperti terbang beberapa cengkang di hadapannya. Dengan cepatnya Mahisa Agni mempergunakan kesempatan itu. Tangan kirinya segera terayun deras sekali ke arah tengkuk lawannya. Terasa pukulannya mengena. Mahisa Agni mempergunakan sebagian besar tenaganya. Maka lawannya segera terdorong ke depan dan jatuh tersungkur di tanah. Namun benar-benar mengherankan. Segera tubuh itu berguling-guling untuk kemudian melenting bangun. Sesaat kemudian hantu itu telah berdiri tegak di atas kedua kakinya. Bahkan segera pula ia melontar maju dengan tangan dan jari-jari yang mengembang, seperti hendak meremas muka Mahisa Agni.
Mahisa Agni adalah anak muda yang cukup terlatih. Pengetahuannya tentang tata beladiri cukup baik. Bahkan beberapa pengetahuan dari perguruan lain pun banyak diketahuinya pula. Tetapi ia belum pernah menyaksikan cara bertempur seperti yang dilakukan hantu ini. Cepat, kuat, namun kasarnya bukan main. Bahkan seakan-akan hantu itu bertempur tanpa aturan apa pun yang mengikatnya. Ia menyerang dan melawan dengan cara yang tak berketentuan. Tetapi satu kenyataan, pukulannya yang tepat mengenai tengkuk hantu itu seakan-akan tak berbekas. Kulit hantu itu benar-benar seperti berlapis batu. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak segera menjadi cemas. Pikirnya, “Asal aku dapat merabanya seperti kulit daging manusia biasa.” Memang Mahisa Agni pernah mendengar cerita bahwa tubuh hantu tak akan dapat disentuh tangan. Tetapi kali ini ia telah dapat menyentuh dan merasakan sentuhan itu. Bahkan hantu itu pun jatuh tersungkur terdorong oleh tenaganya. Karena itu hatinya menjadi semakin besar. Dan sejalan dengan itu, ia bertempur semakin sengit.
Hantu itu masih bertempur dengan kasarnya. Seperti angin pusaran ia membelit kemudian menghantam dari segala arah. Kadang-kadang pukulannya sama sekali tak terarah, demikian saja meluncur dengan derasnya seperti batu meluncur dari tangan.
Mahisa Agni terpaksa harus menyesuaikan dirinya. Dengan tangkasnya ia meloncat, menghindar, dan menyerang. Dicarinya celah-celah dari gerakan-gerakan yang sama sekali tak teratur itu.
Sebenarnya Mahisa Agni banyak mempunyai kesempatan. Kalau saja ia tidak sedang bertempur dengan hantu dari padang rumput Karautan maka pukulannya yang pertama pasti telah meruntuhkan lawannya, yang sama sekali tidak memiliki ilmu tatabela diri itu. Namun sekali hantu itu jatuh tersungkur, sekali ia meloncat bangkit. Sepuluh kali ia terguling di tanah, sepuluh kali ia melenting berdiri.
Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin heran. Ia telah hampir mengerahkan segenap tenaganya. Namun hantu itu masih saja melayaninya dengan caranya yang khusus.
Mula-mula anggapannya tentang hantu itu telah hampir larut, sejak ia melihat pisau di tangan lawannya itu. Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah menimbulkan keraguan pula.
“Aneh,” pikirnya, “aku tidak mengharap bahwa pada suatu kali aku akan bertempur melawan hantu berpisau.”
Empu Purwa sudah tidak berjongkok lagi. Ia berdiri tegak mengawasi muridnya yang lagi bertempur. Ia melihat betapa Mahisa Agni dengan lancar mempergunakan ilmu yang telah diturunkannya kepada anak muda itu. Cepat, lincah, dan tangguh. Kadang-kadang muridnya itu seperti terbang melingkar-lingkar tetapi kadang-kadang seperti batu karang yang tegak tertanam di pasir pantai. Sekali-kali orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya namun sekali-kali tampak ia mengerutkan keningnya. Lawan muridnya itu benar-benar aneh. Ia melihat dengan pasti, tangan muridnya telah menyentuh tubuh lawannya, namun lawannya itu benar-benar seperti kebal, kalis dari segala macam bahaya yang menimpanya.
Mahisa Agni masih bertempur dengan sengitnya. Kini ia telah mengerahkan segenap tenaganya. Bahkan segala macam ilmu yang dimilikinya telah ditumpahkannya untuk melawan hantu yang tidak pandai dalam ilmu tata bela diri namun tak dapat dijatuhkannya itu. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin kabur. Hantu padang rumput itu menyerang membabi-buta. Semakin lama semakin kasar. Ia meloncat-loncat maju dan menerjang dengan kaki, tangan, dan pisaunya. Sekali-kali ia terpental surut oleh pukulan lawannya dan jatuh terjerembab namun sesaat kemudian ia telah maju pula.
Bukan saja Mahisa Agni yang menjadi bingung, bagaimana menyelesaikan pertempuran itu, bahkan Empu Purwa pun beberapa kali menarik nafas dalam-dalam. Muridnya memiliki tenaga yang kuat seperti seekor banteng. Namun tenaga muridnya itu seakan-akan tak berarti.
Tiba-tiba Empu Purwa mengerutkan keningnya. Wajahnya menjadi tegang. Matanya yang lunak bening menjadi seakan-akan menyala. Dan dadanya bergetar seperti gempa.
Empu Purwa yang tua itu melihat bayangan cahaya yang kemerah-merahan di atas kepala hantu padang Karautan itu. Samar-samar namun jelas baginya. Jelas bagi orang setua pendeta itu. Pendeta yang telah masak dalam berbagai ilmu lahir batin, yang kasatmata dan tidak kasatmata. Namun pendeta itu yakin bahwa muridnya pasti tak dapat melihatnya. Karena itu Empu Purwa menjadi gelisah. Sekali-sekali ia menarik nafas panjang.
Malam yang kelam, semakin lama menjadi semakin dalam. Angin yang dingin mengalir perlahan-lahan membelai batang-batang rumput di padang Karautan. Meskipun demikian betapa panas hati Mahisa Agni, dan betapa panas pula hati lawannya. Sebenarnyalah bahwa lawannya itu pun menjadi marah sekali. Tak pernah ia menemukan lawan setangguh Mahisa Agni. Karena itu segera dikerahkan segenap kekuatannya. Dengan menggeram ia menyerang sejadi-jadinya. Dan kemarahan itulah yang telah menyalakan warna semburat merah di ubun-ubunnya.
REPORT THIS AD

Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Gerak Mahisa Agni menjadi semakin cepat dan kuat sedangkan lawannya menjadi semakin keras dan kasar.
Empu Purwa melihat bayangan warna merah itu dengan cemas. Ia masih memerlukan beberapa saat untuk meyakinkannya. Dan akhirnya, sekali lagi pendeta tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Brahma. Hem, aneh. Kenapa Dewa Brahma membiarkan anak itu menjadi hantu di padang rumput ini? Tidak adakah pekerjaan yang lebih baik daripada menyamun, membunuh, dan memerkosa?” Kembali ia memandangi warna merah di ubun-ubun lawan muridnya. Warna itu masih ada. Bahkan semakin jelas baginya.
“Menurut pendengaranku, beberapa orang menyatakan bahwa warna itu adalah ciri keturunan Brahma,” sambungnya.
Tiba-tiba pendeta tua teringat pada pusakanya. Sebuah trisula. Amat kecil dan berwarna kuning. Didapatnya trisula itu dari almarhum gurunya. Turun-temurun dari guru ke murid. Dan trisula itu pun kelak akan diserahkannya kepada Mahisa Agni. Menurut cerita gurunya, trisula itu pertama-tama turun ke bumi sebagai sinar yang membelah langit, kemudian seperti guruh meledak di lereng Gunung Semeru. Yang pertama-tama menemukan trisula itu adalah Empu Wikan. Seorang Empu Sakti yang bertapa di kaki bukit Semeru. Ketika Empu Wikan mendengar guruh meledak di malam hening maka timbullah kecurigaan di dalam hatinya. Maka dengan hati yang berdebar-debar dipanjatnya tebing Gunung Semeru. Dari kejauhan ia masih melihat sinar yang memancar tegak sebesar lidi jantan menusuk langit. Ketika ia mendekati sinar itu terasa betapa panasnya, Empu sakti itu pun harus bersemedi. Dalam semedinya terdengar suara gemuruh di atas kepalanya. Berkata suara itu, “Empu Wikan yang bijaksana, yang dijauhi oleh segala bencana di sekitarnya. Apabila sinar itu nanti lenyap, datanglah ke titik tegaknya di bumi. Kau akan menemukan sebuah trisula sebagai tanda kebesaran Siwa. Aku hadiahkan trisula itu kepadamu sebagai tanda kebesaran namamu. Simpanlah pusaka itu dan serahkanlah turun-temurun kepada murid-murid terkasih. Tetapi ingat Empu Wikan, pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh. Tetapi ia akan dapat memengaruhi hati musuh yang bagaimana pun saktinya.”
REPORT THIS AD

Kenangan Empu Purwa pecah ketika lawan muridnya jatuh hampir menimpanya. Sekali terguling namun sesaat kemudian telah tegak kembali dan dengan garangnya menerkam muridnya seperti seekor serigala lapar menerkam kambing. Tetapi Mahisa Agni bukanlah seekor kambing. Dengan merendahkan diri, diangkatnya kaki kanannya langsung menghantam perut lawannya. Sekali lagi lawannya terpental dan terbanting. Namun sekali lagi hantu padang rumput itu meloncat bangkit. Telah berpuluh kali ia terjatuh namun ia masih segar, sesegar mula-mula mereka bertemu.
Akhirnya Empu Purwa kasihan juga melihat muridnya. Tandangnya sudah mulai susut. Peluh telah membalut seluruh tubuhnya dilekati debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki mereka yang bergulat antara hidup dan mati itu.
“Agni, kau tak akan mampu mengalahkannya,” pikir pendeta tua itu. Karena itu maka segera ia harus menolongnya. Membebaskan muridnya dari libatan lawannya yang keras dan kasar.
Tetapi ia tidak dapat menghilangkan pengaruh warna merah di kepala lawan muridnya itu dari angan-angannya.
Sekali lagi ia menimbang-nimbang. Hantu padang rumput itu adakah kekasih Brahma sedangkan pusaka di tangannya adalah hadiah Siwa. Karena itu maka perlahan-lahan ia maju mendekati titik pertempuran.
Lawan muridnya itu, ketika melihat Empu Purwa mendekati mereka, berkata dengan parau, “Ayo, kau yang tua sekali. Majulah bersama-sama. Selama kau masih belum mampu menangkap angin, selama itu kau jangan mengharap lepas dari padang rumput ini.”
“Agni,” berkata Empu Purwa tanpa menjawab kata-kata hantu itu, “Lepaskan lawanmu!”
REPORT THIS AD

Mahisa Agni heran mendengar tegur gurunya. Selama ini, apabila gurunya melepasnya bertempur, tak pernah ditariknya kembali sebelum tubuhnya menjadi lemas atau bahaya maut telah hampir menelannya. Meskipun ia merasa tenaganya telah surut namun hantu itu pun tak mampu menyentuhnya. Karena itu ia merasakan suatu keanehan pada gurunya kali ini. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak berani menolak perintah itu. Dengan satu loncatan panjang ia melepaskan lawannya.
Mahisa Agni mengangkat kaki kanannya langsung menghantam perut lawannya. Sekali lagi lawannya terbanting jatuh. Namun...“Jangan lari!” terdengar kembali suara hantu itu. Suara parau dan kasar.
“Tak ada gunanya ia meneruskan.”
“Tidak!” jawab Agni, “Aku tak akan lari.”
“Ia tak akan lari,” sahut Empu Purwa, “tetapi ia tak akan melawanmu dengan cara demikian.”
“Cara apa pun yang akan dipergunakannya, mari maju bersama-sama,” potong hantu itu.
“Tidak,” jawab Empu Purwa, “Aku sudah terlalu tua. Tetapi aku ingin berlaku adil.”
“Kenapa?” sahut lawan Agni.
“Kau mempergunakan senjata,” jawab pendeta tua itu.
“Pakailah senjata!” teriak hantu padang Karautan itu.
“Aku akan memberinya senjata,” sahut Empu Purwa.
“Jangan banyak bicara. Berikan sekarang. Kemudian aku akan segera membunuhnya,” lagi-lagi hantu itu berteriak.
Perlahan-lahan Empu Purwa menarik trisula dari dalam sarung kecilnya, berwarna kuning berkilauan.
“Agni,” katanya, “pergunakan trisula ini. Tetapi ingat, jangan kau tusukkan ke tubuhnya. Pengaruhi saja perasaannya dengan senjata itu.”
“Gila!” potong lawan Agni, “Kau berkata demikian sengaja supaya aku mendengarnya. Tusukkan ke tubuhku. Aku tak akan mati.”
Tetapi tiba-tiba suara terhenti. Trisula itu di mata hantu seakan-akan cahaya yang menyilaukan matanya.
Karena itu ia berteriak, “Kalian curang. Sekarang kalian yang tidak berlaku adil. Kalian bertempur dengan alat untuk menyilaukan mataku.”
Empu Purwa menarik nafas. Ia sendiri tidak tahu, kenapa lawan muridnya itu menjadi silau sedangkan muridnya sendiri tidak. Demikianlah agaknya khasiat trisula itu meskipun kali ini harus berhadapan dengan kekasih Brahma.
Maka terdengar jawaban pendeta tua itu, “Senjata itu sama sekali tak menyilaukan mataku dan mata anakku. Kenapa kau menjadi silau?”
“Senjata itu agaknya kau peroleh dari setan-setan yang mempunyai daya seperti tenung,” bantah lawan Agni dengan kasarnya. “Sekarang kau akan menenungku.”
“Seandainya senjata itu aku terima dari setan-setan, bukankah hantu dapat melawan setan-setan. Sebab hantu dan setan mempunyai persamaan tabiat. Keduanya tidak mau mendengar ayam jantan berkokok,” sahut Empu Purwa.
Hantu padang rumput itu menggeram keras sekali. Ia tidak mau berbicara lagi. Dengan satu loncatan panjang ia menyerang Empu Purwa. Meskipun serangan itu datangnya tiba-tiba sekali namun Empu Purwa dengan cepat dapat menghindarkan diri. Ia adalah seorang pendeta yang mumpuni. Meskipun tak ada hasratnya untuk berkelahi namun adalah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya.
Mahisa Agni pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat menyerang hantu padang rumput. Dan kembali terjadi perkelahian yang sengit antara hantu berpisau dan Mahisa Agni dengan trisula di tangan. Meskipun demikian Mahisa Agni sama sekali tidak tahu apakah gunanya senjata itu apabila sama sekali tidak boleh ditusukkan ke tubuh lawannya. Namun ia tidak berani melanggar pantangan itu.
Karena itu dipegangnya trisula itu dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya dengan tangkas menangkis setiap serangan dan bahkan beberapa kali untuk menyerang lawannya. Dengan trisula di tangan kiri itu sebenarnya gerak Mahisa Agni justru terganggu. Tetapi terasa suatu keanehan terjadi atas lawannya itu. Tiba-tiba ia tidak segarang semula. Berkali-kali lawannya terpaksa meloncat menjauhi dan kadang-kadang tangannya terpaksa melindungi matanya. Mahisa Agni menjadi heran. Agaknya lawannya itu benar-benar menjadi silau.
“Inilah khasiat trisula ini,” pikir Mahisa Agni. Dengan demikian ia dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Digerakkannya trisula itu melingkar-lingkar seperti kemamang yang menari-nari di udara. Dan lawannya menjadi semakin terdesak. Dengan demikian Mahisa Agni dapat mengenainya lebih banyak, dan betapapun keras kulit hantu itu namun lambat laun terasa juga nyeri-nyeri di kulit dagingnya. Tenaga Mahisa Agni benar-benar sekuat raksasa. Pada umurnya menjelang seperempat abad itu, Mahisa Agni benar-benar merupakan seorang pemuda yang pilih tanding.
Akhirnya terasa bahwa tandang lawannya menjadi semakin susut meskipun tenaga Agni sendiri seakan-akan telah terperas habis. Berkali-kali hantu itu meloncat surut dan mundur. Semakin lama semakin jauh. Hingga akhirnya hantu itu berteriak, “Kalau kau jantan, lepaskan trisula itu. Aku juga akan melepaskan pisauku.”
“Pisaumu itu tak berarti apa-apa,” sahut Empu Purwa, “Tetapi kau memiliki tanda-tanda yang aneh di atas kepalamu.”
“Jangan mencari-cari. Pertimbangkan tantanganku,” jawabnya.
Sekali lagi Empu Purwa mendekati mereka. Katanya dengan nada penuh kedamaian, “Berhentilah berkelahi.”
“Kalian menyerah?” jawab lawan Agni.
Mahisa Agnilah yang menyahut, “Tidak!”
Kembali terdengar suara Empu Purwa, “Berhentilah berkelahi! Dengarkan kata-kataku!”
Suaranya seakan-akan mengandung suatu wibawa yang agung. Mahisa Agni adalah muridnya sehingga ia sama sekali tak dapat berbuat lain daripada menghentikan perkelahian. Tetapi tidak saja Mahisa Agni yang terpengaruh oleh kata-kata itu, bahkan lawannya pun tiba-tiba meloncat mundur. Sehingga dengan demikian, pertempuran pun menjadi terhenti karenanya.
Empu Purwa melangkah semakin dekat di antara kedua lawan itu. Katanya kemudian, “Ki Sanak, kau memiliki tanda-tanda yang khusus pada dirimu. Karena itu aku dapat mengenalmu.”
“Kau kenal aku?” sahut hantu itu.
“Ya,” jawab Empu Purwa.
“Aku adalah penjaga padang rumput ini. Sato mara satu mati, jalma mara jalma mati. Aku lubangi tengkuknya dan aku hisap darahnya.”
“Tetapi beberapa orang menemukan korbanmu tanpa mengenakan pakaiannya. Tanpa ikat pinggang, tanpa uang dan perhiasan,” potong Empu Purwa.
Hantu itu menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab Empu Purwa telah meneruskan kata-katanya, “Jangan menyembunyikannya dirimu. Kau adalah kekasih dewa-dewa.”
Tampak lawan Mahisa Agni itu mengerutkan keningnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” desak Empu Purwa.
“Hantu tidak pernah punya nama,” jawabnya.
“Siapakah namamu Ki Sanak?” ulang Empu Purwa.
“Aku tak punya nama!” teriaknya keras-keras sehingga suaranya menggema di seluruh padang rumput Karautan.
Tetapi kembali terdengar suara Empu Purwa tenang perlahan-lahan, namun pasti, “Siapakah namamu Ki Sanak?”
Hantu yang menakutkan setiap orang itu tiba-tiba menundukkan kepalanya. Rambutnya yang liar berjuntai di atas bahunya. Angin yang lembut mengalir perlahan-lahan menggerakkan ujung-ujung rambut yang terurai lepas sebebas rumput alang-alang di padang rumput itu.
Tanpa diduga oleh Mahisa Agni tiba-tiba terdengar mulut hantu itu menjawab, “Namaku Ken Arok.”
Mahisa Agni terkejut mendengar nama itu. Tidak saja Mahisa Agni, tetapi yang menyebutkan nama itu pun terkejut pula. Dengan lantangnya ia berteriak, “Jangan ulangi namaku! Dan untuk seterusnya kau tak akan sempat menyebut namaku. Sebab kalian berdua akan kubunuh malam ini agar Ken Arok tetap tak dikenal orang.”
Tiba-tiba Mahisa Agni bersiap kembali. Nama Ken Arok adalah nama yang menakutkan. Tak ada bedanya dengan hantu di padang rumput Karautan, yang ternyata adalah Ken Arok itu sendiri.
“Kau adalah orang buruan,” berkata Agni dengan lantang, “selagi kau bernama hantu pun aku tidak takut. Apalagi ternyata kau adalah manusia terkutuk. Bersiaplah, kita bertempur sampai hayat kita menentukan, siapakah di antara kita yang akan berhasil keluar dari padang rumput ini.”
“Bagus!” teriak hantu yang ternyata bernama Ken Arok itu.
“Berpuluh, bahkan beratus orang, yang telah aku bunuh. Apa artinya kalian berdua?”
Sesaat kemudian Ken Arok dan Mahisa Agni telah siap untuk bertempur kembali namun segera Empu Purwa berkata, “Perkelahian di antara kalian tak ada gunanya. Sebab perkelahian itu tak akan sampai pada ujungnya. Ken Arok memiliki kelebihan dari manusia biasa sedangkan Agni membawa pusaka yang tak ada duanya di dunia ini.”
“Aku akan melayaninya, Bapa,” sahut Agni, “sehari, dua hari bahkan selapan pun aku tak akan meninggalkannya.”
“Sebelum ayam jantan berkokok kau sudah mati,” potong Ken Arok.
“Tak ada artinya, Agni,” berkata Empu Purwa.
Kemudian kepada Ken Arok, pendeta tua itu berkata, “Arok, apakah kau dapat berkelahi dengan mata yang silau? Bagaimanakah kalau trisula itu berada di tanganku, kemudian Agni memukulmu semalam suntuk? Kau tak akan dapat membalasnya sebab aku akan menggerakkan trisula itu di tentang matamu.”
REPORT THIS AD

“Curang!” teriak Ken Arok dengan marah.
“Kau juga curang,” bantah Empu Purwa.
“Kenapa? Hanya karena aku memegang pisau ini? Baiklah. Kalau demikian pisauku akan aku buang. Kita bertempur tanpa senjata.”
“Bukan,” sahut Empu Purwa, “Bukan karena senjatamu. Tetapi kenapa kau seolah-olah menjadi kebal?”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu benar-benar aneh. Akhirnya ia menjawab, “Bukan kehendakku. Sejak aku sadar tentang diriku, aku telah menjadi kebal. Dewa-dewalah yang membuat aku demikian. Bertanyalah kepada Dewa-dewa. Kalau itu kau anggap kecurangan, Dewalah yang membekali aku dengan kecurangan itu.”
“Bagus. Dewa pulalah yang memberi aku trisula itu,” sahut Empu Purwa, “Adakah itu juga suatu kecurangan?”
Ken Arok menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya yang memegang pisau menjadi gemetar. Tetapi sesaat kemudian terdengar suara Empu Purwa lunak, “Kemarilah. Duduklah.”
Ken Arok dan Mahisa Agni sama sekali tidak tahu maksud pendeta tua itu. Karena itu, untuk sesaat mereka berdiri mematung sehingga orang tua itu mengulangi kata-katanya, “Mahisa Agni dan Ken Arok. Kemarilah! Duduklah!”
Meskipun masih diliputi oleh keragu-raguan namun Mahisa Agni kemudian duduk di samping gurunya. Ken Arok masih tegak seperti tonggak.
“Kemarilah Arok,” panggil Empu Purwa dengan ramahnya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Ken Arok melangkah dua langkah maju. Kemudian menjatuhkan dirinya di samping pendeta tua itu.
“Arok,” kata pendeta tua itu, “seharusnya kau sadar dirimu. Siapakah engkau dan apakah yang akan terjadi atas dirimu. Kau memiliki beberapa kelebihan dari orang lain tetapi kelebihan itu telah kau salah gunakan.”
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata orang tua itu. Di dalam malam yang gelap, mata itu seakan-akan memancarkan cahaya yang putih bening.
“Ken Arok. Apabila kau sedang berbaring menjelang tidur, tidakkah kau pernah menghitung berapa orang yang telah menjadi korbanmu? Tidakkah kau pernah membayangkan, bahwa orang yang menggeletak mati di padang rumput Karautan ini, atau di tempat-tempat lain yang pernah kau diami, tidak saja menimbulkan kengerian pada saat-saat matinya, tetapi peristiwa itu juga akan meninggalkan goresan yang dalam bagi keluarganya? Bagi anak-anak dan istri mereka yang menunggunya di rumah? Tidakkah kau pernah membayangkan bahwa seorang laki-laki pergi merantau untuk mendapatkan sesuap nasi. Tetapi di jalan pulang laki-laki itu bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Di rumah anak-anaknya yang lapar menunggunya. Tetapi laki-laki itu tak akan pernah pulang.”
Ken Arok belum pernah mendengar seorang pun berkata demikian kepadanya. Kawan-kawannya pada masa kanak-kanaknya, ayah angkatnya yang bernama Lembong, Bango Samparan, dan orang-orang yang pernah datang pergi dalam perjalanan hidupnya. Yang dikenalnya hanyalah daerah-daerah yang gelap. Judi, tuak, perempuan, dan segala macam kejahatan. Sekali dua kali hidupnya terdampar juga ke rumah-rumah yang wajar. Namun tak sempat didengarnya nasihat dan petuah-petuah. Karena itu, maka kata-kata Empu Purwa itu mula-mula asing baginya. Tetapi kalimat-kalimat itu seperti embun yang menetes dari langit. Perlahan-lahan daun-daun rumput yang kering menjadi basah pula. Demikianlah kata-kata asing itu di hati Ken Arok. Meskipun ia belum mengenal seluruhnya, namun terasa bahwa ada dunia lain dari dunianya yang gelap.
“Ken Arok,” kembali terdengar suara Empu Purwa, “Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang.”
Tiba-tiba Ken Arok menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan diamatinya tangannya. Tangan yang kotor karena darah dan air mata. Dan kini tangan itu menjadi gemetar.
“Tak ada jalan lain yang dapat aku tempuh,” terdengar suaranya parau. Tetapi tidak sekeras semula.
“Banyak,” sahut Empu Purwa.
“Aku telah asing dari hidup manusia wajar. Semua orang menjauhi aku,” katanya.
“Mereka takut kepadamu. Kepada perbuatan-perbuatanmu,” jawab Empu Purwa.
Ken Arok menggeleng. Matanya menjadi sayu. Katanya, “Tidak. Sejak aku lahir di luar kehendakku. Aku adalah anak panas. Ayahku mati ketika ibuku diceraikannya. Dan orang menyalahkan aku. Kemudian menurut kata orang, pada masa aku masih bayi merah, aku dibuang di pekuburan. Aku dipelihara oleh Bapak Lembong. Seorang pencuri. Salahkah aku kalau aku kemudian mengikuti cara hidupnya?”
“Tidak,” sahut Empu Purwa, “Kau tidak bersalah. Tetapi kau akan lebih berbahagia kalau kau dapat menempuh cara hidup yang lain.”
Ken Arok memandang wajah pendeta tua itu dengan seksama. Kesan wajahnya telah berubah sama sekali dari semula. Matanya kini sudah tidak liar dan ganas. Bahkan kini menjadi suram.
Sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak tahu apakah masih ada cara hidup yang lain yang dapat aku jalani. Aku telah dijauhi oleh sanak-kadang.”
“Jangan risau,” sahut Empu Purwa, “meskipun kau dijauhi oleh sanak-kadang dan handai-taulan, apabila kau tundukkan kepalamu dan bersujud kepadanya, maka adalah sahabat manusia yang jauh lebih berharga dari sanak-kadang, handai, dan taulan.”
“Siapakah dia?” bertanya Ken Arok.
“Yang Maha Agung,” jawab Empu Purwa. Perlahan-lahan namun langsung menusuk kalbu Ken Arok. Mahisa Agni telah sering mendengar gurunya berkata demikian kepadanya. Berkata tentang Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit dan bumi, kemudian memeliharanya dan kelak akan datang masanya langit dan bumi akan dihancurkannya.
Tetapi Ken Arok belum pernah mendengar sebutan itu. Karena itu ia masih berdiam diri menunggu penjelasan.
“Ken Arok,” Empu Purwa melanjutkan, “meskipun kau hidup sendiri di dunia ini, namun kau akan berbahagia kalau Yang Maha Agung itu tidak meninggalkanmu.”
Ken Arok masih berdiam diri. Kata-kata pendeta tua itu belum begitu jelas baginya. Ia sama sekali tidak kenal kepada Yang Maha Agung itu.
Tetapi dalam kesibukan berpikir, tiba-tiba Ken Arok teringat pada pengalamannya. Ketika ia dikejar-kejar oleh orang Kemundungan. Ketika ia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka memanjatlah ia ke atas sebatang pohon tal. Tetapi orang-orang yang mengejarnya memotong batangnya. Pada saat itu, pada saat ia telah kehilangan akal, terdengarlah suara dari langit, “Ken Arok, potonglah dua helai daun tal. Pakailah sebagai sayap. Dan kau akan dapat terbang melintasi sungai di bawah pohon tal itu.”
Kemudian, ketika dipotongnya dua pelepah daun tal serta dinaiknya, seakan-akan ia terbang melintasi sungai.
Maka tiba-tiba melontarlah pertanyaan menusuk benaknya, “Suara apakah yang telah menyelamatkan aku itu?” Suara itu telah lama dilupakannya. Bahkan dianggapnya tidak pernah ada. Tetapi suara itu kini terngiang kembali. Jelas, seperti baru saja diucapkan. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan. Itulah suara Yang Maha Agung.
Ken Arok terkejut sendiri pada kesimpulan yang ditemukannya. Bersamaan dengan itu, terbayanglah di matanya peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Perampokan, pembunuhan, perkosaan, dan segala jenis kejahatan. Tiba-tiba Ken Arok menjadi takut. Takut kepada penemuannya. Pada kesimpulan yang didapatnya. Kalau benar Yang Maha Agung itu ada maka akan diketahui semua perbuatannya.
Ken Arok menjadi gemetar seperti orang kedinginan, wajahnya menjadi pucat. Dan dengan suara yang bergetar Ken Arok bertanya meyakinkan, “Adakah Yang Maha Agung itu kenal kepadaku?”
“Ya,” sahut Empu Purwa, “Yang Maha Agung itu kenal kepadamu, kepadaku, kepada Agni, dan kepada semua manusia di dunia ini seperti seorang bapa mengenal anak-anaknya.”
“Tahukah Yang Maha Agung itu atas apa yang pernah dan sedang aku lakukan?” bertanya Ken Arok pula.
“Pasti,” jawab Empu Purwa.
Mendengar jawaban itu Ken Arok menjadi menggigil karenanya. Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulitnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni menjadi terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok itu meloncat berdiri. Terdengarlah ia berteriak, “Bohong! Bohong! Kau akan menakut-nakuti aku?”
Tanpa sesadarnya Mahisa Agni pun meloncat berdiri. Dengan kesiagaan penuh ia mengawasi Ken Arok yang berdiri tegang di muka gurunya. Matanya yang sayu suram kini menjadi liar kembali. Dengan ujung pisaunya ia menunjuk ke wajah Empu Purwa yang masih duduk dengan tenangnya. Katanya, “Kau ingin melawan aku dengan cara pengecut itu? Berdirilah bersama-sama. Kita bertempur sampai binasa.”
Mahisa Agni telah bersiap. Ia akan dapat menyerang Ken Arok dengan satu loncatan. Tetapi ketika hampir saja ia meloncat menyerang, sekali lagi ia terkejut. Dilihatnya Ken Arok itu meloncat mundur dan tiba-tiba hantu padang rumput Karautan itu memutar tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya seperti kuda lepas dari ikatannya. Sesaat Agni diam mematung. Namun kemudian ia pun meloncat mengejar hantu yang mengerikan itu. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena suara gurunya, “Agni! Biarkan ia lari. Kemarilah!”
Sekali lagi Agni tidak dapat memahami tindakan gurunya. Ken Arok adalah orang buruan yang berbahaya. Apakah orang itu akan dilepaskannya? Tetapi Mahisa Agni berhenti juga. Dengan wajah yang tegang karena pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dadanya, ia berjalan tergesa-gesa mendekati gurunya.
“Bapa,” katanya terbata-bata, “kenapa orang itu kita biarkan pergi?”
Empu Purwa menarik nafas. Perlahan-lahan orang tua itu berdiri.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,” berkata orang tua itu. Seakan-akan ia tak mendengar pertanyaan muridnya, bahkan katanya kemudian, “Kita tidak akan sampai tengah malam nanti.”
Karena pertanyaannya tidak dijawab, Agni menjadi semakin tidak puas. Tetapi ia diam saja. Ia pun kemudian berjalan di samping gurunya. Sekali-kali matanya dilemparkannya jauh ke belakang tabir kelamnya malam. Hantu padang rumput Karautan telah hilang seakan-akan ditelan oleh raksasa hitam yang maha besar. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak bertanya-tanya lagi.
Bintang gemintang di langit masih bercahaya gemerlapan. Beberapa pasang telah semakin bergeser ke barat. Dan embun pun perlahan-lahan turun.
Agni masih berjalan di samping gurunya. Dengan matanya yang tajam, ditatapnya padang rumput yang terbentang di hadapannya. Beberapa tonggak lagi ia masih harus berjalan.
Dalam keheningan malam itu kemudian terdengar suara gurunya lirih, “Agni, masihkah kau berpikir tentang hantu padang Karautan?”
Mahisa Agni menoleh. Kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya Bapa.”
“Apa yang kau lihat pada anak muda itu?” bertanya gurunya.
Mahisa Agni tidak tahu maksud gurunya. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab sehingga Empu Purwa mengulangi, “Adakah sesuatu yang aneh yang kau lihat pada Ken Arok?”
“Apakah yang aneh itu?” bertanya Mahisa Agni.
“Itulah yang aku tanyakan kepadamu. Sesuatu yang tidak ada pada kebanyakan manusia,” sahut gurunya.
Mahisa Agni termenung sejenak. Dicobanya untuk membayangkan kembali tubuh lawannya. Dada yang bidang, sepasang tangan yang kokoh kuat, rambut yang liar berjuntai sampai ke pundaknya, dan wajahnya yang tampan namun penuh kekasaran dan kekerasan. Tiba-tiba Agni menggeleng, gumamnya seperti kepada diri sendiri, “Tak ada. Tak ada yang aneh padanya.”
Empu Purwa mengangguk-angguk. Pikirnya, “Aku sudah menduga bahwa Agni tak melihat cahaya di ubun-ubun Ken Arok.”
Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Memang tidak ada Agni namun ada cerita yang aneh tentang anak muda yang menjadi buruan itu.”
Mahisa Agni mengawasi wajah gurunya dengan seksama. Tetapi tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah yang tua itu. Mungkin karena gelapnya malam. Mungkin karena di wajah pendeta tua itu segala sesuatu menjadi tenang, setenang permukaan telaga yang terlindung dari sentuhan angin.
Tetapi kemudian terdengar Empu Purwa berkata, “Agni, tak banyak yang aku dengar tentang asal-usul Ken Arok. Tetapi aku pernah mendengarnya dari mulut beberapa orang pendeta. Di antaranya pendeta di Sagenggeng. Bahwa dari kepala Ken Arok itu memancar cahaya yang kemerah-merahan. Dan cahaya yang demikian adalah ciri dari mereka yang dikasihi oleh Brahma.”
“Kalau demikian…?” kata-kata Mahisa Agni terputus.
“Ya,” Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ken Arok adalah kekasih Brahma. Bahkan orang pernah menganggap bahwa Ken Arok adalah pecahan Dewa Brahma sendiri.”
Mahisa Agni menundukkan wajahnya, ditatapnya ujung kakinya berganti-ganti. Seakan-akan ia sedang menghitung setiap langkah yang dibuatnya. Kembali menjalar di benaknya beberapa macam pertanyaan yang kadang-kadang sangat aneh baginya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada trisula di tangannya. Ya, di tangan kirinya masih digenggamnya tangkai trisula yang terlalu kecil baginya. Tanpa sesadarnya, diamatinya trisula itu dengan seksama. Trisula itu benar-benar berkilauan namun tidak sampai menyilaukan baginya.
Mahisa Agni terkejut ketika didengarnya gurunya berkata, “Agni, cerita tentang trisula itu sama anehnya dengan cerita tentang orang buruan itu.”
Agni mengangkat wajahnya. Sekali lagi dipandangnya wajah gurunya. Wajah yang sepi hening.
“Trisula itu adalah hadiah dari Siwa,” Empu Purwa meneruskan.
Memang cerita itu aneh bagi Mahisa Agni. Karena itu ia menjadi heran. Kekasih Brahma yang hampir setiap saat menjalankan kejahatan, dan senjata hadiah Siwa di tangannya. Adakah dengan demikian berarti bahwa membenarkan segala macam kejahatan itu?
Meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan namun Empu Purwa telah dapat menangkap dari wajah muridnya, maka katanya, “Agni. Jangan kau risaukan apa yang sedang dilakukan oleh Brahma, Siwa, dan Wisnu sekali pun. Kalau pada suatu saat, orang-orang yang menurut cerita bersumber pada kekuatan Brahma harus berhadapan dengan orang-orang bersumber pada kekuatan Siwa atau Wisnu, itu bukanlah hal yang perlu kau herankan. Sebab, baik Siwa, Brahma, maupun Wisnu itu sendiri merupakan pancaran dari Maha Kekuasaan Yang Esa. Dan keesaan kekuasaan itulah yang mengatur mereka. Apa yang dilakukan Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah satu rangkaian yang bersangkut-paut dengan tujuan tunggal. Apa yang diadakan oleh kekuasaan itu, kemudian dipeliharanya untuk kemudian, apabila sampai saatnya, dihancurkannya.”
Kini kembali Mahisa Agni menundukkan wajahnya. Ia dapat mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya. Dan itulah sebabnya, maka gurunya tak mengizinkannya untuk mengejar Ken Arok, yang menurut kata orang adalah pecahan Dewa Brahma itu sendiri.
Kemudian, gurunya itu tidak berkata-kata lagi. Mereka berjalan saja menembus malam yang gelap dingin. Dan setapak demi setapak mereka mendekati rumah mereka. Desa Panawijen.
Ketika mereka menjadi semakin dekat semakin dekat maka lupalah Mahisa Agni kepada Ken Arok, pada trisula di tangannya, pada cerita tentang Brahma dan Siwa, serta pada perkelahian yang baru saja dialami. Yang ada di dalam angan-angannya kemudian adalah kampung halamannya. Kampung halaman di mana ia meneguk ilmu dari gurunya, Empu Purwa.
Tetapi, kampung halaman itu tidak akan demikian memukaunya apabila di sana tidak ada orang-orang tersangkut di dalam hatinya, selain gurunya, pendeta tua yang sabar dan tawakal itu.
Yang mula-mula hadir di dalam angan-angannya adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan seperti yang dirindukan oleh bidadari sekali pun. Kadang-kadang Mahisa Agni menjadi heran, apabila dibandingkannya wajah gadis itu dan wajah ayahnya. Ayahnya bukanlah seorang yang berwajah tampan pada masa mudanya. Entahlah kalau ibunya seorang bidadari yang kamanungsan. Mahisa Agni belum pernah melihatnya. Bahkan anak gadis itu sendiri pun tak dapat mengingat wajah ibunya lagi. Dan gadis yang bernama Ken Dedes itu, di matanya tak ada yang memadainya. Sehingga tidaklah aneh bahwa setiap mulut yang tersebar dari lereng timur Gunung Kawi sampai ke Tumapel pernah menyebut namanya.
Tetapi gadis itu terlalu bersikap manja kepadanya, seperti seorang adik kepada seorang kakak yang sangat mengasihinya. Mahisa Agni tidak begitu senang pada sikap itu. Seharusnya Ken Dedes tidak menganggapnya sebagai seorang kakak.
Tiba-tiba wajah Agni menjadi kemerah-merahan. Ia tidak berani meneruskan angan-angannya. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri.
Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terkejut ketika terdengar gurunya berkata, “Agni, sebaiknya kau kembalikan trisula itu kepadaku. Aku mengharap bahwa kelak kau akan dapat memilikinya.”
“Oh,” terdengar sebuah desis perlahan dari mulut Agni. Cepat-cepat ia menyerahkan senjata aneh itu kepada gurunya tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Kemudian mereka pun meneruskan perjalanan mereka. Sudah tidak seberapa jauh lagi. Dari desa di hadapan mereka, terdengarlah kokok ayam jantan bersahut-sahutan.
“Hari menjelang pagi,” desis Empu Purwa.
“Kita terhalang di padang Karautan,” sahut Mahisa Agni.
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali Mahisa Agni berangan-angan. Kini yang hadir di dalam benaknya adalah sahabatnya. Seorang pemuda yang tampan, bertubuh tinggi tegap, bermata hitam mengkilat. Anak muda itu adalah putra Ki Buyut Panawijen. Hampir setiap hari Mahisa Agni bermain-main bersamanya. Menggembala kambing bersama. Bekerja di sawah bersama. Saling membantu seperti kakak-beradik yang rukun. Mereka berdua mempunyai banyak persamaan tabiat. Keduanya senang pada pekerjaan mereka sehari-hari.
Keduanya bekerja di antara penduduk Panawijen yang rajin. Menggali parit, membuat bendungan di sungai, dan membersihkan jalan-jalan desa, memelihara pura-pura, dan segala macam pekerjaan. Namun ada yang tak dapat dipersamakan di antara mereka. Mahisa Agni adalah seorang pemuda yang tangguh, yang hampir sempurna dalam ilmu tata beladiri dan tata bermain senjata. Berkelahi seorang diri dan bertempur dalam gelar-gelar perang. Sedangkan Wiraprana, anak muda putra Ki Buyut Panawijen, adalah seorang anak muda yang tak banyak perhatiannya pada ilmu tata beladiri meskipun dipelajarinya serba sedikit dari ayahnya. Meskipun anak muda itu rajin bekerja namun ia tidak setekun Mahisa Agni dalam menempa diri. Meskipun demikian, karena Agni tidak biasa menunjukkan kelebihannya, keduanya dapat bergaul dengan rapatnya.
Mereka memasuki desa mereka pada saat cahaya merah membayang di timur. Di telinga mereka masih menghambur suara kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sekali-kali telah terdengar pula gerit senggot orang menimba air dari perigi-perigi di belakang rumah mereka.
Ketika mereka, Empu Purwa dan Mahisa Agni, memasuki halaman rumah mereka yang dikelilingi oleh pagar batu setinggi orang, mereka melihat api menyala di ujung dapur.
“Ken Dedes sudah bangun,” berkata Empu Purwa perlahan.
Mahisa Agni tidak menjawab. Sejak semula ia sudah menyangka bahwa Ken Dedes dan para endanglah yang sedang merebus air sambil menunggu kedatangan mereka.
Sekali mereka berjalan melingkari pertamanan di tengah-tengah halaman yang luas itu. Kemudian mereka berjalan di tanggul kolam yang berair bening. Di siang hari, kolam itu dipenuhi oleh itik, angsa, dan berati, berenang dengan riangnya.
Kedatangan mereka disambut oleh Ken Dedes dengan penuh kemanjaan. Dengan bersungut-sungut terdengar ia bergumam, “Ayah terlalu lama pergi bersama Kakang Agni. Semalam aku tidak tidur. Ayah berkata bahwa selambat-lambatnya senja kemarin sampai di rumah. Tetapi baru pagi ini ayah sampai.”
“Agni kerasan di Tumapel,” jawab Empu Purwa.
“Ah,” desah Ken Dedes, “barangkali gadis-gadis Tumapel menahannya.”
Mahisa Agni tersenyum kemalu-maluan. Ia tidak mau disangka demikian, namun ia tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya di padang Karautan. Karena itu menyahut, “Aku berburu kelinci di Padang Karautan.”
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Katanya, “Ayah melewati padang rumput itu?”
Empu Purwa mengangguk.
“Tidaklah Ayah takut kepada hantu yang sering menghadang orang lalu di padang rumput itu?” desak Ken Dedes.
Sekali lagi Empu Purwa menggeleng. Katanya, “Tak ada hantu di sana. Yang ada adalah kelinci-kelinci dan anak-anak rusa.”
Ken Dedes tidak bertanya lagi tetapi wajahnya nampak ...(bersambung)

Comments

Popular Posts